Aku Ingin Berteduh (di Hatimu)

"Cinta adalah sesuatu yang Indah" karena itu Jika aku diberi pilihan "Bernafas atau Mencintaimu," akan aku gunakan " nafas terakhirku untuk mencintaimu "




Selasa, 30 Desember 2014

Sepucuk Rindu dari Kota Saljuku


Teruntuk yang tercinta, Ibu Murni Suriati
dari JM Vivi Violina

Assalamualaikum wr. wb.
Untuk Ibu di jelaga rindu,
Aku menulis surat ini saat butiran salju pertama turun di kotaku, Bu. Mungkin kau tengah terlelap tidur karena kelelahan dengan aktivitas panjangmu. Atau mungkin kau tak benar-benar tidur karena lelah itu terlalu lelah. Ah, andai aku berada di sampingmu, Ibu. Mungkin jasa ‘memijit’ku bisa sedikit menghilangkan penat itu. Andai aku di sampingmu, andai aku bisa menyelimutimu, memelukmu hingga tertidur seperti yang kau lakukan dulu untukku, Bu.
Setiap hari, selalu ada sepuluh menit setelah sujud terakhirku tersita untukmu, Ibu. Lima menit awal kuhabiskan untuk kembali ke masa lalu, saat aku begitu suka bermanja-manja di pangkuanmu. Aku yang terkadang nakal dan tak mendengar nasihatmu, aku yang menangis karena tak bisa menjawab soal matematika dan kau yang begitu sabar mengajariku. Aku yang keras kepala dan tak mau mengalah, merasa selalu benar, dan kau yang begitu sabar menghadapiku. Lalu lima menit setelahnya aku terlalu sibuk menangis, selalu begitu, Bu.
Bahkan doa yang kuucap untuk senyummu pun terucap patah-patah. Ah, buah hatimu ini masih terlalu lemah ternyata.
Ibu, jauh darimu ternyata benar-benar menyiksa. Kau bilang, aku pasti sanggup melalui semuanya. Kau bilang, aku pasti bisa berdiri dengan kakiku sendiri. Namun, ternyata kau salah, Ibu. Aku masihlah balitamu yang butuh pegangan hangat jemarimu. Aku masihlah balita yang rindu pelukan hangat tubuhmu. Aku masihlah aku, Bu.
Sama seperti belasan tahun lalu. Terlalu rindu padamu, Ibu. Terlalu rindu. Apa kabarmu, Ibu? Akankah kau kesepian di sana? Sakitkah engkau? Susahkah? Aku tak lagi tahu, Bu. Aku tak lagi dapat mendengar sapamu setiap pagi, tak lagi dapat menyicipi teh hangat sarapan pagi darimu. Tak lagi dapat mengelus tanganmu yang tak lagi halus. Aku tak lagi dapat, Bu. Jarak ini terlalu jauh. Andai bisa kulipat, lalu memelukmu erat.
Ibu, hujan yang jatuh di kotaku ini membeku. Namun, air mata rindu untukmu hangat mengalir di wajahku.
Terakhir sebelum aku merantau ke negeri ini dan membelai lembut rambutmu, aku tersadar, rasanya baru kemarin kulihat rambut itu gelap seperti malam, kini pada helaian rambut lembutmu telah berubah putih, seputih salju. Secepat itukah usiamu berlalu, Ibu? Aku merasa baru kemarin kau menuntunku menaiki sepeda yang dilepas roda tiganya. Lalu garis di wajah dan tanganmu?
Andai usia itu abadi...
Mungkin surat kecil ini tak akan mampu menampung seluruh rinduku padamu, Ibu. Juga tak mampu menampung betapa aku berterima kasih atas hadirmu. Berterima kasih karena telah menjadi Ibu terbaik dalam hidupku. Satu-satunya Ibu, satu-satunya malaikatku, satu-satunya alasan mengapa aku masih bertahan dalam perihnya hidup. Ketahuilah, Bu. Satu hal yang senantiasa menjadi alasanku untuk selalu bersyukur kepada Sang Pencipta karena aku terlahir dari rahimu. Seorang wanita tegar dan satu-satunya pahlawanku.
Untuk surga yang kurindu,
Maafkan buah hati yang terkadang menjadi alasan hadirnya luka dan air mata di pipimu, Ibu. Karena tanpa ridhamu, kunci pintu surga tak kan ada bagiku. Tanpa doa dari bibirmu, aku tak mungkin bisa sampai di negeri ini menuntut ilmu. Ini karena doamu, Ibu. Karena kau meminta pada Tuhan agar aku dapat melihat langit di negeri berbeda. Terima kasih, Ibu. Terima kasih untuk seluruh jiwa dan ragamu.
Ibu, dengan perantaraan surat ini, saat salju di kotaku perlahan-lahan turun. Aku ingin menyampaikan pesan hangat untukmu. Bahwa aku, sangat mencintaimu...
Sun jauh untukmu, malaikat hatiku.
Wassalam,
Dari buah hati yang sangat merindu.
‪#‎Ivi‬

Tidak ada komentar:

Posting Komentar