Aku Ingin Berteduh (di Hatimu)

"Cinta adalah sesuatu yang Indah" karena itu Jika aku diberi pilihan "Bernafas atau Mencintaimu," akan aku gunakan " nafas terakhirku untuk mencintaimu "




Kamis, 28 November 2013

Sepasang Merpati

by :


Sepasang merpati terbang diberandaku
Mereka membuat iri setiap insan yang menyaksikannya
Merpati gambaran kesetiaan cinta sejati
Lihatlah si jantan sibuk merayu
Disulapnya katajadi bermakna
Di tulisnya janji dalam puisi cinta
setiap senja menjadi saksi
Kala malam purnama ikut merindu
Saat pagi sinar mentari menyapa, Cahayanya menghangatkan hati
Lihatlah si betina menunduk malu
Menata hati tersanjung rayu
Disulamnya tiap kata bermakna
Berjanji akan setia
Terbanglah kau pahlawan hati
Siapkan sarang yang nyaman
Agar janji tak sekedar janji
Dan cinta dapat mulai bersemi
Setiap senja ia tetap menanti
Saat purnama ia merindu
Berharap pagi segera menjemputnya
Dan sang kekasih penuhi janji
Mengucap ikrar sehidup semati.
  

Nasi, Beras dan Cinta

MODAL CINTA
by : Achmad Abu Farha


"Neng kawin nyo'!!" Kata seorang pria kepada seorang wanita.
"Idih ogah banget deh bang!" Jawab sang wanita sambil membuang muka.
"Lah emang ngapa Neng?" Tanya si Pria
"Iii Abang, tampang pas-pasan aje mau ngajak aye kawin. Mana belon kerja, rumah ga punya, motor juga paling nyang nyicilin orang tua. Apa nyang mau diandelin bang?? Entar aye lagi yang kudu kerja ke luar negeri, Abang enak-enakan di rumah maen cewe lagi" Timpal si Wanita
"Idih Eneng mah matre!!!" Ledek si Pria
"Hari gini ga matre ga idup Bang"
"Tapi Abang kan punya cinta neng?"
"Aye mah makannya nasi Bang bukan cinta"
"Tapi kan kalo cinta mah bisa idup Neng"
"Iye sebulan dua bulan bisa bang ngandelin uang kondangan, kesononye kelaperan. Ogah dah aye mah" sambil berlalu pergi
Si Pria pun terbengong-bengong. "Ah gagal gua nanggep dangdut" Pikirnya dalam hati.

https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/permalink/614170731978155/?comment_id=622091907852704&offset=0&total_comments=91


Membaca posting di atas membuat jari saya tergerak :

Jadi...
Pilih Cinta atau Beras


Real-nya "Beras lebih penting dari cinta".
Tapi...
"Hidup tenang karena cinta, jauh lebih penting dari pada beras"

Note : Kalau ngga ada beras, kan masih bisa makan ROTI ubi dan lain-lain hehehehe


https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/614182718643623/





Vote : beras atau cinta
by     : Anya Amakusa (Inspired by kang Abu, mas Uvy and JM violina beserta seluruh komentator di lapak yang dibuka semalam).


Apakah engkau berusaha menguji cintaku sebagai perempuan dengan dominasi perasaan ?
Jangan ragukan kesetiaanku pada cinta, sungguh jangan. Demi cinta, benar aku siap kekurangan. Tapi ingatlah, aku ini perempuan. Perempuan dengan dua orang tua yang sangat kuhormati, yang tak boleh ku durhakai. Surgaku di telapak kaki ibuku. Apakah engkau mengkhendaki aku ‘ngeyel’ padanya? Sungguh surga itu akan pindah padamu nanti. Tapi aku tidak ingin perpindahan itu terjadi secara paksa.
Sungguh… jika kamu memaksa, cinta ini akan terbentur restu orang tua. Memilih cintamu atau ridha orang tuaku? Ahhhh…..
Aku dilema…
Aku pun tak mungkin memilih beras semata…. Sungguh aku tak bisa mengolah beras tanpa cinta. Jika mengolah beras saja aku tak mampu maka jangan bayangkan akan tercipta taman surga di rumah. Benar aku bisa belajar untuk mencintai. Tapi itu sangat berat . Sungguh.
Pintaku…. Sungguh tak muluk-muluk
Jadilah pria dengan keseimbangan cinta dan beras sehingga aku tak perlu berada dalam pilihan yang sulit ini. Tempatkanlah aku dalam pilihan yang mudah lagi memudahkan jalan kita nanti. Aku yakin cinta akan membuatmu berusaha meperoleh beras sebelum menemui orang tuaku. Do’aku menyertaimu, selalu.

https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/permalink/614622001933028/?comment_id=622087941186434&offset=0&total_comments=285

(TAK) SAYANGKAH KAU?

 
28 November 2013 pukul 21:50
Malam itu
Kau peluk aku di pintu jendela
Menjanjikan topi anyaman berenda
Memelukku erat, menjalarkan kehangatan
Berdua
Kita susuri utara hingga selatan
Ternyata ucapan hanya sebatas kiasan
Hingga kini topi anyaman hanya bayangan

Setiap fajar,  menyeruakku di perkebunan karet
Memetik pakis, mengutip kayu bakar
Demi membeli sabun cuci sebatang
Bocah kecil kau paksa mematahkan tulang
Bahkan aku  belum sempat mengeja
Pun mengenal  Alif, Ba, Ta

Di perempatan, sebuah cambukan melayang
Hanya karena lupa mengantar kue yasinan
Linang tergenang di pasak hatiku
Menggulung sakit, marah, dan malu
“Beginikah caramu mencintaiku?”

Aku hanya ingin sepasang sepatu baru
Tapi putri dari istrimu lebih kau jadikan ratu
Mengapa tak kau pulangkan aku kepada Ibu
Sungguh
Jiwa ini merindu

Ku coba merangkai prestasi
Bahkan dekapmu tak sempat kucicipi
Mengapa diri jadi omongan kini?
Bukankah dulu kau tak pernah peduli
Ketika nilaiku menjadi yang tertinggi
Dari tetes peluhku sendiri

Tak kah kau ingat ketika selembar ijazah menjadi perkara
Bahkan Bule pun tak lagi percaya
Perpisahan sekolah bagaikan prahara
Mencabik-cabik hati, menoreh darah
“Ayah, aku terluka.”

Tujuh tahun ku berjuang di kota orang
Pulang berharap sekecup sambutan
Tapi apa yang terlontar nanar?
“Kau bukan anakku!!”
Pecahmu tanpa ampun ke dasar hatiku
Anak mana yang sanggup tegap berdiri
Kala Ayah tak lagi menyayangi buah hati

Ku langkahkan kaki ke beranda Ibu
Berharap ia mau memelukku
Namun di sisinya kini terdapat empat jiwa
Bukankah aku yang pertama
Mengapa kau mengusirku jua?
“Ibu, tak bisakah hangat itu kurasa”
Seperti putra-putrimu, aku juga anakmu

Setiap sujud hanya namamu yang kusebut, Bu
Hanya namamu
Wanita yang tlah melahirkan ragaku
Mengapa kini merajut jarak

“Aku tak pernah membesarkanmu”
Inikah cinta Ibunda?
Mengapa sangat berbeda dengan warita

Kemana kaki harus melangkah
Kala kau tak menerima, begitu pun Ayah
Hanya sajadah tempat semua resah membuncah
PadaNya bening nestapa ku langitkan
Berharap secuil dekapan walau hanya di jemari tangan
Ya Rahim, Ya Khaliq
Kau pemilik segala nyawa
Pencipta segala suka dan bahagia
Bolehkah kurasakan setetes hadirnya
Hanya setetes, Ya Rabb
Hanya setetes

Titah Tuhan selalu benar, bukan?
Ketika hijrah tak lagi bertuan
Ia  kirim penyembuh lara
Sebongkah dada selapang senja
Memekarkan berjuta maaf
Dia memang tak izinkanku menikmati manis
Seperti cerita cinta di bawah payung gerimis
Tapi, harap tak pernah mati
Bahwa akan ada nanti
Suatu masa penuh dengan bunga
Pertemuanku denganNya

Akan ada


: Cintailah orang tuamu, karena tak selamanya semua orang
merasakan hal yang sama sepertimu. Bersyukurlah, Teman.

NB: Kisah seorang sahabat


https://www.facebook.com/notes/jm-vivi-violina/tak-sayangkah-kau/714459695240130

JIKA AKU

jika aku menjadi mereka
berjaket debu bersandal kumal
rambutku ikal bahkan gimbal
dipeluk aroma yang buat mual

apakah kau
akan menyapaku, kawan?

jika aku menjadi mereka
berkawan cibiran dan umpatan
akrab dengan prasangka dalam lirikan
selalu disapa oleh celaan

apakah kau
akan mendekat, kawan?

aku tak mencuri
aku bukan pencopet
aku juga tidak merampok

tidak
seperti mereka!
yang katanya terhormat
tapi doyan uang rakyat

atau mereka
yang katanya ningrat
tapi gemar menjilat

lalu
bagaimana dengan sabda Tuhan?
yang katakan iman bukan pada tampilan
melainkan apa yang dilakukan

jika aku jadi mereka
yang lahir dan besar di tangan kehidupan
langit jadi naungan dan bumi jadi pijakan

masih kah kau akan
memanggilku 'teman'?
 
 

Just my opinion

Apa yang menurut kita berlebihan, belum tentu berlaku bagi orang yang bersangkutan.
Pencipta lyrik lagu, menciptakan rangkaian nada _yang menurut kita_ indah, bagi mereka itu biasa.
Seseorang yang _menurut kita_ pandai merangkai kata, mungkin rangkaian kata yang ia buat, biasa saja dimatanya.
Mungkin ada anggota KBM _menurut kita_ berlebihan dalam mengungkapkan rasa cinta, merangkai kata dengan indah (bahkan terkesan berlebihan) tapi tidak bagi dia (si penulis), karena memang begitulah keBIASAannya, apalagi jika dibandingkan dengan penyair cinta sekelas Kiyai Haji A. Mustafa Bishri, Taufik Ismail, dan penyair cinta lainnya (Mungkin kata yang ia tulis dan ungkapkan belum ada se-ujung kuku).

Kembali kita belajar filosofi Jawa "wong urip sawang sinawang" artinya manusia hidup, saling menilai. Dan sebaik penilaian tidak semena-mena menghakimi pilihan orang lain. Selagi itu benar dan tidak melanggar Syar'i.

Selamat malam KaBeeMers
Salam damai, salam sejahtera, salam cinta dan rindu teruntuk warga KBM (ayo menulis, menulislah dengan penuh cinta)

by : Andrea 'uvy' Hidayah
https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/622260117835883/?notif_t=like

CINTA DI PAYUNG HUJAN

Luluhnya derai gerimis, merinaikan cerita manis
Memerah rona di wajah, memburu dada Ibu dan ayah

Wahai gerimis di pagi hari
Bergulung-gulung cinta kau terjangkan di hati
Dekik tersungging, rangkul mengerat
Ayah dan ibu saling mendekap
Di bawah payung merah mengantarku sekolah

Wahai gerimis nan manis
Hilangkan lelah di bahu mereka
Hapuskan isak di balik senyum terpaksa
Selipkan rindu dan cinta dalam dada
Sampaikan, bahwa aku mencinta mereka

by : JM Vivi Violina : https://www.facebook.com/viiviolin/posts/739478036080791?comment_id=7871082&notif_t=comment_mention

"Sajak-sajak Kenangan"

Ah kenapa aku harus berada disini.
Tepat dibawah tulisan "UNDIP- Fakultas Ilmu Budaya"

Hmm beginilah jika kau berada pada tempat dimana pertautan hati pernah membawamu kesini - pada tempat penuh kenangan.
Membayangkan jika aku belajar disini.
Ahh...
Hujan kali ini tak jua menghapus rasa "inginku"
Sudahlah. Itu keinginan terpendam beberapa masa yang telah lewat.

Aku menyebutnya "Sajak-sajak Kenangan"



Tembalang, 26 November 2013 (Senja_Cahya) 

Andrea 'uvy' Hidayah, https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/permalink/620756554652906/

Untuk wanita berjaket pink diujung jalan


Begini jika kau beruntung. Tanpa kau minta. Tuhan akan mempertemukan kalian. Teman yang selama ini hanya kita kenal lewat beranda KBM.
Walau sekedar pertemuan kilat_hanya lambaian tangan dan senyum dari seberang tepi jalan.
Percayalah. Pertautan aksara membuat kami serasa dekat, seperti keluarga.

#Perjalanan Senja, Semarang-"Cepiring"-Tegal.

Cc : Mila

https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/permalink/620855627976332/

Tepat di Hatiku

(Di ilhami setelah membaca salah satu karya teman di KBM)


Aku tahu
Kemarin kau membawa sepotong senja
Dan menanamnya disini.
Tepat di hatiku

Maka, jika kau bertanya ; "apa yang ingin kau lakukan".

Yang ingin kulakukan hanya mematikan langkahmu
Agar tetap kau di sini 
Tepat di sampingku. 
   
by : Andrea 'uvy' Hidayah ; https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/621486907913204/?comment_id=621498067912088

Cintaku tak Sesederhana jajanan kaki lima.

Aku membayangkan
Kelak, suatu saat duduk bersamamu
Di bawah kaki langit, tepat pada pertengahan potongan semburat senja. Atau di beranda jubah malam dengan gugus gemintang.

Menikmati jajanan sederhana, lesehan kaki lima.
 
Lalu, bukan kita yang iri melihat mereka (pasangan) yang berlalu lalang bergandeng tangan.
Tapi mereka-lah yang tersenyum manis melihat kemesraan kita yang penuh kesederhanaan.
Mungkin aku tak sanggup membawamu ke hingar-bingar restoran.

Cukuplah disini, di emperan alun-alun kota
Menikmati jajanan sederhana lesehan kaki lima dengan penuh cinta.

(Kebahagiaan bukan seberapa mahal yang kita pakai, bukan pula "brand" terkenal yang kita santap, kebehagiaan ada disini. Di hati yang selalu memberi cinta, dan di beri cinta. Pertautan antara hati dan cinta itulah "BAHAGIA")
 
(Senja_Cahya)
https://www.facebook.com/groups/KomunitasBisaMenulis/621590077902887/?notif_t=like..

Minggu, 17 November 2013

SUAMI YANG KECEWA



By. Kho Zin

Pada mulanya ceritanya seperti ini...

Istri hamil besar (memasuki trimester ketiga). Kondisi fisiknya entah kenapa down. Ternyata ketika diperiksakan ke dokter, ada masalah dengan heparnya. Untuk sembuh, jalan keluar yang diberikan dokter ada dua. Pertama istirahat total tanpa melakukan pekerjaan apapun. Kedua, wajib mengkonsumsi obat yang diresepkan secara rutin. Sampai ada perintah stop dari dia.

Karena konsisinya seperti itu, pada akhirnya semua pekerjaan rumah beralih seluruhnya ke pundakku. Dari mulai cuci baju, menjemurnya, mengambilnya lagi jika sudah kering sampai menggosoknya (menyetrika). Dari mulai belanja, masak, menghidangkan di meja makan, dan juga cuci piring. Mulai dari nyapu rumah, ngepel, sampai membereskan mainan anak-anak yang berserak. Mulai dari membangunkan anak, memandikan, mengantarnya ke kamar mandi ketika mau BAB atau BAK (berikut nyebokin), menyuapi makan sampai menidurkannya kembali. Semua dibebankan ke pundakku.

Semua itu aku lakukan tanpa mengurangi tugasku sendiri sebagai pencari nafkah di luar rumah. Makanya, ada saat-saat aku rasanya susah bernapas ketika sampai rumah dengan badan capek namun masih harus melakukan ini itu yang telah menunggu. Ruarrrr biasa sekali rasanya.

Jika tugas yang lain bisa ringan-ringan saja aku lakukan, namun tidak begitu dengan dua jenis tugas berikut: memasak dan berbelanja. Bukan apa-apa, aku merasa dua bidang ini merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan. Memasak misalnya, dari jaman dahulu aku paling anti. Paling jago makan, namun sama sekali tidak mau dekat-dekat dengan dapur. Sejak kecil aku selalu lebih memilih makan ketimbang harus masak.

Sementara belanja, aduh, rasanya lelaki mana pun pasti memilih angkat tangan. Ganteng-ganteng jinjing sayur? Wah, sangat amat menjatuhkan harkat dan martabat seorang lelaki.

Tapi sejak istri divonis harus total istirahat maka mau tidak mau dua hal itu harus aku kerjakan juga. TERPAKSA.

Tahukah dirimu, Kawan, jika kamu seorang suami, di dua medan juang inilah identitasmu sebagai lelaki sejati yang sayang keluarga sedang di uji.

Dan ujian terberat itu adalah ketika pagi-pagi belanja dan harus ngantri bersama emak-emak! Ampun deh!

Hari-hari pertama belanja selalu saja ada yang tanya;

"Eh, kok belanja sendiri, Bang. Kakak mana?"

"Lagi sakit."

"Oh."

Itu pertanyaan paling normal yang dilontarkan oleh emak-emak yang baik. Pertanyaan paling bikin gondok adalah yang model begini;

“Ih, Jeng Andre. Mau masak apa hari ini?”

Aku dipanggil JENG. Jelas-jelas aku berkumis. Kurang ajar!

Makanya aku paling malas belanja di kedai dekat rumah. Di samping karena banyak ibu-ibu yang kenal, antreannya mengular. Malas betul ngantri begitu lama hanya untuk beli genjer tiga ikat!

Oya, ada juga emak-emak yang suka menyanjung.

"Wah, suami idola betul bapak satu nih. Sayang sama istri!"

Memangnya jadi suami idola itu harus rajin belanja yah? Kalau benar begitu, berat benar ujian yang harus para suami lalui...

Karena merasa jadi bahan olok-olokan, pada akhirnya aku lebih memilih belanja langsung ke pasar. Meski lebih jauh, setidaknya bisa menghindari bertemu dengan ibu-ibu yang kadang ketika menyapa bikin mukaku merah menahan malu. Ah, dasar mulut tak bertulang.

Sepulangnya dari pasar belanjaan yang aku bawa pulang hampir selalu sama; segala macam bahan, yang menurut aku, paling mudah dimasak. Contohnya adalah telor dengan semua variannya (puyuh, bebek, ayam kampung, ayam eropa). Belinya juga tidak tanggung-tanggung. Selalu banyak. Ini adalah jurus andalan anti ribet. Plus kecap. Biar gampang ketika anak-anak minta makan. Kebetulan juga mereka sangat menyukainya.

Sementara untuk sayur, aku memilih sayuran yang bisa langsung di makan. Timun misalnya. Atau kol, wortel, rimbang, kacang panjang. Dan semacamnya. Pokoknya segala macam sayur yang bisa dimakan sebagai lalapan. Mudah, praktis dan tidak bikin repot.

Begitulah hari-hari yang kami lalui tanpa sentuhan tangan istri. Benar-benar tersiksa. Bahkan aku sendiri seringkali makan dengan penuh perjuangan. Sangat susah nelan. Istri tak menampakkan emosi apapun. Ketika ditanya gimana rasanya dia selalu jawab;

“Enak. Namanya saja tinggal makan.”

Aku terharu dibuatnya.

Sementara anak-anak makin hari makin susah makan. Makan juga. Tapi setelah di paksa dan, terkadang, diancam. Padahal jika istri yang masak mereka makan dengan lahap. Jadi menyesal rasanya tidak pernah mau ikut terjun ke dapur.

Seminggu berlalu dengan lancar.

Memasuki minggu kedua, masakanku makin tidak diminati. Baik istri maupun aku sendiri. Sementara anak-anak jangan tanya. Mereka malah riang gembira lepas dari tekanan harus menghabiskan makanannya. Lha yang tukang maksa saja makannya selalu nyisa.

Sampai di situ, terpikir juga untuk beli makanan di luar. Atau berlangganan kateringan.Tapi istri tidak setuju. Kami memang selalu menghindari makanan apapun yang dijual di luar. Bukan mengharamkan, namun berhati-hati.

“Tidak jelas halalnya. Atau kalau pun jelas halalnya, thayyibnya nggak bisa dijamin. Kebanyakan rumah makan selalu memakai penyedap pada setiap menu yang mereka jual.” Kata istri beralasan.

Dulu aku selalu sependapat. Ketika istri bisa memanjakan lidah ini dengan kemampuannya mengolah makanan. Tapi belakangan mudah sekali hati ini tergoda.

Ketika minggu kedua kami lewati dengan susah payah, maka memasuki minggu ke tiga akhirnya istri terpaksa harus turun gunung...

Dengan badan masih lemah dia masuk dapur dan memasak. Meski sambil duduk di kursi yang ditaruh dekat kompor.

"Kasihan anak-anak Mas. Badannya makin kurus. Dua minggu ini yang mereka makan entah apa-apa..." katanya.

Mendengarnya hatiku ngilu.

Ada campuran rasa bersalah karena tak becus menghidangkan makanan yang lebih baik untuk keluarga, terutama anak-anak. Sekaligus tersinggung karena dari kata-katanya tersirat nada manyalahkan alih-alih memaklumi.

Ooooiii..., istriku!

Tidakkah kau paham dari dulu, sejak suamimu ini datang melamarmu; sekali pun dia tak pernah bilang kalau dirinya adalah koki lulusan Master Chef Indonesia? Dia hanya lelaki biasa yang terpaksa turun ke dapur karena memaklumi keadaan istrinya yang lagi sakit. Dia tak pernah paham dengan segala macam jenis bumbu-bumbu. Entah mana lengkuas dan mana jahe sampai detik ini pun dia belum pandai membedakan.

Jadi harap maklum jika kemudian apa yang terhidang di meja makan selalu berbumbu seragam: bawang putih dan bawang merah, apapun bahan yang di masak, mulai ikan-ikanan sampai sayuran.

Itupun mestinya kau, dan juga anak-anak syukuri.

Itu karyaku, prestasiku, masterpieceku, suamimu. Apa yang terhidang, sesederhana apapun (atau sekacau apapun) tampaknya, butuh perjuangan yang tak ringan untuk suamimu. Ada selaksa kesabaran yang diuji di sana. Ada khawatir kebanyakan memberi garam. Ada cemas tak bisa dimakan. Ada panik ketika masakan gosong. Dan segala macamnya.

Bahkan untuk memulainya saja sudah merupakan ujian iman tersendiri.

Bayangkan, pagi-pagi harus ikut antri bersama ibu-ibu untuk berbelanja sayur dan ikan-ikan. Ada saatnya aku merasa malu, sumpah. Di kepalaku selalu ada persangkaan: aku adalah penyamun yang tersesat di sarang perawan... (eh, emak-emak perawan nggak sih?)

Sekali lagi, syukurilah apa yang suamimu bisa hidangkan.

Apa yang ada dan nampak di hadapanmu, meski nampak polos dengan judul operanya: 'bawang putih dan bawang merah' nan abadi dari hari ke hari, semuanya layak untuk di konsumsi. Setidaknya untuk standar anak kos cowok yang masih lajang.

Tapi percayalah, disitu ada jaminan. Pasti halalnya. Juga pasti sehatnya. Meski tidak terlalu pas untuk lidah-lidah kita yang selama ini selalu dimanja oleh menu-menu favorit olahan tanganmu.

Sekali lagi syukurilah apa yang ada...

Karena jujur saja, itu jauh lebih baik dibanding misalkan...aku menghidangkan semuanya dalam versi mentahnya.

sekali lagi dan lagi, syukurilah...

Karna dengan syukur insyaallah semua akan nampak lebih baik.

Istriku...

Dulu, ketika kau baru mulai belajar memasak, ketika kita baru menikah, pada telor mata sapi buatanmu yang gosong aku selalu merasai cinta di ujung-ujung lidahku ketika mengunyahnya.

Tidakkah sekarang kau merasakan hal yang sama pada olahan makananku?

***

Kawan,
Mungkin istriku tidak bermaksud apa-apa dengan kata-katanya. Tapi hatiku terlanjur kecewa. Kerja kerasku selama berhari-hari tidak dianggapnya apa-apa.

*** the end ***

UBIN TUA YANG RETAK


karya : Mila KBM


"Manusia hidup punya tujuan! Lalu tujuanmu apa Ree?" nada suaramu semakin meninggi.

Aku masih terduduk di kursi rotan yang sama sedari dua jam yang lalu, tidak beringsut sedikit pun.

"Kamu bilang ingin jadi orang yang bermanfaat! Manfaat seperti apa?" kali ini bola matamu berubah buas hendak menerkam isi kepalaku.
Kenapa hari ini kau cerewet sekali Sam? Aku muak dihujani pertannyaan pertanyaan tak penting. Lihat dirimu sekarang! Tak beda dengan Merapi ketika erupsi pertama kali.
Aku malas harus mendengar ceracaumu siang ini. Harusnya kau lihat, sama sekali perempuan di depanmu ini tidak bergeming.
Kenapa Sam? Biasanya kau diam selama tujuh tahun ini. Dan hubungan kita baik baik saja. Tapi hari ini Merapi itu memuntahkan material panas dari mulutnya yang sekian lama bertapa.
Kuminum sedikit demi seruput kopi yang sudah dingin. Sementara kau mengadiliku tanpa jeda.
"Apa pentingnya hal ini buatmu?" akhirnya kalimat yang kau tunggu kukeluarkan juga.
"Hhh!" kau tampak semakin jengkel mendengarnya.
Sedari tadi kakiku tidak berhenti bergerak gerak di tempatnya. Kulihat kau tertunduk lesu.
"Ibu memintaku untuk melupakanmu" kau menghela nafas panjang. "Ibu ingin aku menikah tahun ini. Takut tidak bisa menimang anakku, katanya" kau coba menangkap mataku.
"Beri aku waktu!" jawaban ini tidak pernah kupersiapkan sebelumnya; muncul begitu saja.
Ini bukan pertama kalinya kau berbicara tentang ibumu yang ingin anak bungsunya segera menikah. Sejak beliau dirawat di rumah sakit karena komplikasi setahun belakangan ini. Hampir setiap seminggu dua kali kau menanyakan hal yang sama. Selama itu juga aku terus berkelit.
Sekarang tulang punggungku sudah mulai pegal. Aku menyandar, memandangi atap rumah yang penuh sarang laba laba.
Kau menunduk di tempat dudukmu yang semakin menjauh dariku. Matamu beradu kesedihan dengan ubin rumah yang sudah pecah pecah karena termakan usia.
"Apa kamu tidak mau menikah denganku Ree?" kau mencoba menyusup mataku lagi.
Kau benar benar menyebalkan hari ini! Sebenarnya apa yang ada di pikiranmu Sam?
"Tolong jawab Ree! Jangan permainkan aku lagi!" pertanyaan rutinmu kau ucapkan lagi.
Kutarik nafas terpanjang dan menghembuskannya berkali kali. Menatap wajahmu, menangkap semburatnya dan mendapati kebingungan yang tak biasa.
"Aku ingin putus!"
Aku melihat jelas gemuruh dahsyat di dadamu. Tapi kau tidak mempercai ucapanku.
"Besok aku pergi menyusul orang tuaku ke Timor Leste dan menetap di sana" jawaban inilah yang selama setahun ini kupersiapkan. "Tugasku menjaga nenek di sini sudah usai. Aku rindu kampung halamanku"
Kau bangkit dari tempatmu. Tak sedikitpun melihatku.
Braaakkk!!! Kau banting pintu rumah nenek hingga menutup rapat seperti terkunci. Kopimu masih utuh tak pernah kau sentuh.
TAMAT