Aku Ingin Berteduh (di Hatimu)

"Cinta adalah sesuatu yang Indah" karena itu Jika aku diberi pilihan "Bernafas atau Mencintaimu," akan aku gunakan " nafas terakhirku untuk mencintaimu "




Minggu, 17 November 2013

SUAMI YANG KECEWA



By. Kho Zin

Pada mulanya ceritanya seperti ini...

Istri hamil besar (memasuki trimester ketiga). Kondisi fisiknya entah kenapa down. Ternyata ketika diperiksakan ke dokter, ada masalah dengan heparnya. Untuk sembuh, jalan keluar yang diberikan dokter ada dua. Pertama istirahat total tanpa melakukan pekerjaan apapun. Kedua, wajib mengkonsumsi obat yang diresepkan secara rutin. Sampai ada perintah stop dari dia.

Karena konsisinya seperti itu, pada akhirnya semua pekerjaan rumah beralih seluruhnya ke pundakku. Dari mulai cuci baju, menjemurnya, mengambilnya lagi jika sudah kering sampai menggosoknya (menyetrika). Dari mulai belanja, masak, menghidangkan di meja makan, dan juga cuci piring. Mulai dari nyapu rumah, ngepel, sampai membereskan mainan anak-anak yang berserak. Mulai dari membangunkan anak, memandikan, mengantarnya ke kamar mandi ketika mau BAB atau BAK (berikut nyebokin), menyuapi makan sampai menidurkannya kembali. Semua dibebankan ke pundakku.

Semua itu aku lakukan tanpa mengurangi tugasku sendiri sebagai pencari nafkah di luar rumah. Makanya, ada saat-saat aku rasanya susah bernapas ketika sampai rumah dengan badan capek namun masih harus melakukan ini itu yang telah menunggu. Ruarrrr biasa sekali rasanya.

Jika tugas yang lain bisa ringan-ringan saja aku lakukan, namun tidak begitu dengan dua jenis tugas berikut: memasak dan berbelanja. Bukan apa-apa, aku merasa dua bidang ini merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan. Memasak misalnya, dari jaman dahulu aku paling anti. Paling jago makan, namun sama sekali tidak mau dekat-dekat dengan dapur. Sejak kecil aku selalu lebih memilih makan ketimbang harus masak.

Sementara belanja, aduh, rasanya lelaki mana pun pasti memilih angkat tangan. Ganteng-ganteng jinjing sayur? Wah, sangat amat menjatuhkan harkat dan martabat seorang lelaki.

Tapi sejak istri divonis harus total istirahat maka mau tidak mau dua hal itu harus aku kerjakan juga. TERPAKSA.

Tahukah dirimu, Kawan, jika kamu seorang suami, di dua medan juang inilah identitasmu sebagai lelaki sejati yang sayang keluarga sedang di uji.

Dan ujian terberat itu adalah ketika pagi-pagi belanja dan harus ngantri bersama emak-emak! Ampun deh!

Hari-hari pertama belanja selalu saja ada yang tanya;

"Eh, kok belanja sendiri, Bang. Kakak mana?"

"Lagi sakit."

"Oh."

Itu pertanyaan paling normal yang dilontarkan oleh emak-emak yang baik. Pertanyaan paling bikin gondok adalah yang model begini;

“Ih, Jeng Andre. Mau masak apa hari ini?”

Aku dipanggil JENG. Jelas-jelas aku berkumis. Kurang ajar!

Makanya aku paling malas belanja di kedai dekat rumah. Di samping karena banyak ibu-ibu yang kenal, antreannya mengular. Malas betul ngantri begitu lama hanya untuk beli genjer tiga ikat!

Oya, ada juga emak-emak yang suka menyanjung.

"Wah, suami idola betul bapak satu nih. Sayang sama istri!"

Memangnya jadi suami idola itu harus rajin belanja yah? Kalau benar begitu, berat benar ujian yang harus para suami lalui...

Karena merasa jadi bahan olok-olokan, pada akhirnya aku lebih memilih belanja langsung ke pasar. Meski lebih jauh, setidaknya bisa menghindari bertemu dengan ibu-ibu yang kadang ketika menyapa bikin mukaku merah menahan malu. Ah, dasar mulut tak bertulang.

Sepulangnya dari pasar belanjaan yang aku bawa pulang hampir selalu sama; segala macam bahan, yang menurut aku, paling mudah dimasak. Contohnya adalah telor dengan semua variannya (puyuh, bebek, ayam kampung, ayam eropa). Belinya juga tidak tanggung-tanggung. Selalu banyak. Ini adalah jurus andalan anti ribet. Plus kecap. Biar gampang ketika anak-anak minta makan. Kebetulan juga mereka sangat menyukainya.

Sementara untuk sayur, aku memilih sayuran yang bisa langsung di makan. Timun misalnya. Atau kol, wortel, rimbang, kacang panjang. Dan semacamnya. Pokoknya segala macam sayur yang bisa dimakan sebagai lalapan. Mudah, praktis dan tidak bikin repot.

Begitulah hari-hari yang kami lalui tanpa sentuhan tangan istri. Benar-benar tersiksa. Bahkan aku sendiri seringkali makan dengan penuh perjuangan. Sangat susah nelan. Istri tak menampakkan emosi apapun. Ketika ditanya gimana rasanya dia selalu jawab;

“Enak. Namanya saja tinggal makan.”

Aku terharu dibuatnya.

Sementara anak-anak makin hari makin susah makan. Makan juga. Tapi setelah di paksa dan, terkadang, diancam. Padahal jika istri yang masak mereka makan dengan lahap. Jadi menyesal rasanya tidak pernah mau ikut terjun ke dapur.

Seminggu berlalu dengan lancar.

Memasuki minggu kedua, masakanku makin tidak diminati. Baik istri maupun aku sendiri. Sementara anak-anak jangan tanya. Mereka malah riang gembira lepas dari tekanan harus menghabiskan makanannya. Lha yang tukang maksa saja makannya selalu nyisa.

Sampai di situ, terpikir juga untuk beli makanan di luar. Atau berlangganan kateringan.Tapi istri tidak setuju. Kami memang selalu menghindari makanan apapun yang dijual di luar. Bukan mengharamkan, namun berhati-hati.

“Tidak jelas halalnya. Atau kalau pun jelas halalnya, thayyibnya nggak bisa dijamin. Kebanyakan rumah makan selalu memakai penyedap pada setiap menu yang mereka jual.” Kata istri beralasan.

Dulu aku selalu sependapat. Ketika istri bisa memanjakan lidah ini dengan kemampuannya mengolah makanan. Tapi belakangan mudah sekali hati ini tergoda.

Ketika minggu kedua kami lewati dengan susah payah, maka memasuki minggu ke tiga akhirnya istri terpaksa harus turun gunung...

Dengan badan masih lemah dia masuk dapur dan memasak. Meski sambil duduk di kursi yang ditaruh dekat kompor.

"Kasihan anak-anak Mas. Badannya makin kurus. Dua minggu ini yang mereka makan entah apa-apa..." katanya.

Mendengarnya hatiku ngilu.

Ada campuran rasa bersalah karena tak becus menghidangkan makanan yang lebih baik untuk keluarga, terutama anak-anak. Sekaligus tersinggung karena dari kata-katanya tersirat nada manyalahkan alih-alih memaklumi.

Ooooiii..., istriku!

Tidakkah kau paham dari dulu, sejak suamimu ini datang melamarmu; sekali pun dia tak pernah bilang kalau dirinya adalah koki lulusan Master Chef Indonesia? Dia hanya lelaki biasa yang terpaksa turun ke dapur karena memaklumi keadaan istrinya yang lagi sakit. Dia tak pernah paham dengan segala macam jenis bumbu-bumbu. Entah mana lengkuas dan mana jahe sampai detik ini pun dia belum pandai membedakan.

Jadi harap maklum jika kemudian apa yang terhidang di meja makan selalu berbumbu seragam: bawang putih dan bawang merah, apapun bahan yang di masak, mulai ikan-ikanan sampai sayuran.

Itupun mestinya kau, dan juga anak-anak syukuri.

Itu karyaku, prestasiku, masterpieceku, suamimu. Apa yang terhidang, sesederhana apapun (atau sekacau apapun) tampaknya, butuh perjuangan yang tak ringan untuk suamimu. Ada selaksa kesabaran yang diuji di sana. Ada khawatir kebanyakan memberi garam. Ada cemas tak bisa dimakan. Ada panik ketika masakan gosong. Dan segala macamnya.

Bahkan untuk memulainya saja sudah merupakan ujian iman tersendiri.

Bayangkan, pagi-pagi harus ikut antri bersama ibu-ibu untuk berbelanja sayur dan ikan-ikan. Ada saatnya aku merasa malu, sumpah. Di kepalaku selalu ada persangkaan: aku adalah penyamun yang tersesat di sarang perawan... (eh, emak-emak perawan nggak sih?)

Sekali lagi, syukurilah apa yang suamimu bisa hidangkan.

Apa yang ada dan nampak di hadapanmu, meski nampak polos dengan judul operanya: 'bawang putih dan bawang merah' nan abadi dari hari ke hari, semuanya layak untuk di konsumsi. Setidaknya untuk standar anak kos cowok yang masih lajang.

Tapi percayalah, disitu ada jaminan. Pasti halalnya. Juga pasti sehatnya. Meski tidak terlalu pas untuk lidah-lidah kita yang selama ini selalu dimanja oleh menu-menu favorit olahan tanganmu.

Sekali lagi syukurilah apa yang ada...

Karena jujur saja, itu jauh lebih baik dibanding misalkan...aku menghidangkan semuanya dalam versi mentahnya.

sekali lagi dan lagi, syukurilah...

Karna dengan syukur insyaallah semua akan nampak lebih baik.

Istriku...

Dulu, ketika kau baru mulai belajar memasak, ketika kita baru menikah, pada telor mata sapi buatanmu yang gosong aku selalu merasai cinta di ujung-ujung lidahku ketika mengunyahnya.

Tidakkah sekarang kau merasakan hal yang sama pada olahan makananku?

***

Kawan,
Mungkin istriku tidak bermaksud apa-apa dengan kata-katanya. Tapi hatiku terlanjur kecewa. Kerja kerasku selama berhari-hari tidak dianggapnya apa-apa.

*** the end ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar